Paru-Paru Untuk Kota Tercinta

Oleh :  Ray Victory

Imah, hati-hati di jalan, ya! Ema akan selalu berdoa semoga cita-cita kamu tercapai. Maafin Ema nak. Ini buat bekal kamu di sana. Kalau sudah sampai kirim surat ya!

Pesan terakhir yang aku terima dari anggota keluargaku sebelum aku berangkat mencari kerja demi meringankan beban hidup keluarga. Tak pernah berpikir aku akan berkorban demi keluargaku, dengan memeras keringat di kota nomor satu di Indonesia. Dulu aku tidak pernah tahu apa itu monas. Aku pikir itu buah-buahan. Ternyata setelah aku ketahui monas singkatan dari monumen nasional yang berbentuk seperti menara yang di atas puncaknya dihiasi dengan emas. Saat itulah semangatku membakar, ingin memboyong emas itu ke rumah.

Kini aku sedang duduk di atas bis antar kota menuju Kampung Rambutan. Ini kali pertamanya aku berkelana menginjakan kaki di jantung Indonesia. Dalam perjalanan, aku tak dapat tidur, hati ini merasakan kehawatiran, hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Sekaligus berupaya menghapal setiap jalan yang bis ini lewati.

Bis melaju perlahan. Kendaraan roda dua berkejaran. Sepertinya telah terjadi kemacetan. Para pedagan asongan berebutan memasuki kendaraan menawarkan dagangannya kepada para penumpang. Suara ricuh pedagang mulai mengganggu pendengaran membuat para penumpang kepanasan.

Aku lihat dari jendela orang-orang berkeliaran. Bis-bis antar kota berjajaran sesuai kota tujuan saat bis yang aku tumpani memasuki terminal Kampung Rambutam. Di sanalah jantungku berdebar-debaq merintih kebingungn apa yang harus sekarang aku lakukan. Pikiran yang penuh tanda tanya mengelabui. Kemana tempat tujuan yang akan aku datangi.

Sebelum ku injak kaki pertama di metropolitan ini. Tahap pertama yaitu mencari kontrakan. Ini merupakan hal yang paling penting jika tidak ada unsuq yamg pertama mungkin aku bisa tidur di jalanan.

Mataku menjelajah keadaan terminal. Terik matahari mencubit kulit mengangkat tangan seakan menghormat. Ku lirik kiri kanan sejauh mata memandang mencari tempat yamg teduh. Suara ricuh para kondektur mendengun di telinga menawarkan jasa tumpangannya. Aku tak tahu mesti kemana mencari kontrakan.

“Neng, kemana Cempaka Putih? Ayoh sok naik bis ini!” kata orang itu ajaknya.

Aku bingung mau menjawab apa. “Nggak bang!” menggelengkan kepala.

Aku mencoba untuk keluar dari area terminal. Berjalan di atas trotoar. Membidik gedung-gedung tinggi dan perjantoran. Kendaraan berlintasan menghembuskan angin bercampur terik matahari yang membakar tubuh.

Sebuah taksi berhenti disaat sedang berjalan.

“Neng mau kemana?” Tanya sopir taksi itu saat kacanya terbuka.

Aku meliriknya. Ku lemparkan senyum tanpa terucap sepatah kata pun.

“Oh… baru ke Jakarta ya! Cari kontrakan ya! Gimana kalau saya anterin buat cari kontrakan.”

“Beuneran nih! Mau dong, dimana bang!” Spontan alu langsung terhipnotis. “Tapi… kayaknya ongkos taksi mahal ah!” Memperkirakan.

“Alah masalah itu mah gampang, neng! Mau diskon berapa pun abang kasih atau geratis juga boleh.” Tertawa kecil.

Aku terbujuk rauanya. Tak ku pikir panjang. Aku pun nekad tak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Aku dibawanya berputar-putar. Terkadang ke kiri atau ke kanan. Bangunan-bangunan yang menjulang tinggi berkejaran. Setiap jalan kami susuri.

Tak lepas dari perkenalan kami pun berbasa-basi.

“Emangnya baru pertama kali ke Jakarta, ya?”

“Iya, bang!” sahutku malu-malu.

“Memangnya Eneng dari mana?” Sesekali menatap spion.

“Dari Subang.” Jawabku pelan.

“Subang?” Orang itu balik tanya, “wah, kalau gitu sama dong!” Setengah tertawa, “Subangnya dimana?”

“Cisalak.” Jawabku singkat dengan nada senang bisa bertemu dengan orang satu kawasan.

“Oh… Jalan Cagak ke timur ya! Yang mau ke Sumedang. Kalau saya mah dari Pabuaran.” Jelasnya.

“Oh…”

“Mau kerja di sini? Kerja apa?”

“Iya! Gak tahu saya masih bingung yang penting bagi saya kerjaannya halal dan bisa langsung dapat tempat tinggal.

Supir itu terdiam sejenak. “Gimana kalau saya kenalkan sama anak majikan saya. Mungkin saja dia sedang membutuhkan orang buat bantu-bantu di rumahnya.” Katanya memberi tawaran.

“Wah! Boleh juga tu…!” seruku senang, “beneran kan, bang!” Meyakintakan.

“Ya belum pasti kita coba aja.” Jelasnya simpel.

Keringat dingin yang membasahi kening, aku seka dengan baju tanganku. Hembusan udara terasa merembas ke balik baju dari sebuah pendingin taksi yang kutumpangi. Sejenak ku lepaskan lelah bersandar di kursi yang kududuki sesaat menengadah menghembuskan kesegaran yang ku rasakan.

Perjalanan ini terasa menimpa tubuhku yang rapuh. Semeliwir udara yang sejuk ala AC alami di pegunungan tinggi desa yang kutinggali sesaat bergeser ke frekuensi yang seakan matahari mendekati bumi. Biring kendaraan yang saling berpapasan terdengar jelas. Suara klakson-klakson kendaraan seakan memburu untuk segera maju disetiap lampu merah yang kami lalui.

Sesaat, ku pejamkan mata namun aku pun tak lupa untuk menghangatkan suasana.

“Kalau boleh tahu rumah majikan abang dimana, ya?”

“Majikan saya mah tinggal di cempaka putih tapi, kalau anaknya di Menteng.” Kata laki-laki itu sesaat menatap spion.

“Oh…” Seolah-olah mengerti.

“Oh ya!” Sergahnya mencoba berbalik ke belakan saat lampu merah sedang menyala. “Dari tadi cuma ngobrol saja, kenalannya belum.”

“Eh, Iya! Jadi lupa. Keasikan ngobrol. Saya Maimunah, panggil saja Imah.” Ucapku sembari berjabat tangan.

“Saya Tata.” Kata laki-laki berseragam beraras lumayan tampan.

Hirup pikuk kota “The Jak Mania” ini menyambutku dengan sebiji bintan yang menggantun di awang-awang. Aku dihadapkan pada seorang putri di sebuah rumah yang megah bagai istana. Dengan dihiasi taman yang penuh dengan bunga dan air mancur yang mengalir.

Tata memperkenalkan aku pada seorang tuan rumah yang terlihat ramah dalam menyambut kedatanganku. Kami pun berbincang-bincang perihal kedatanganku ke kota Jakarta.

“Imah.” Ucapku menjabat tangannya.

“Alya.” Jawabnya balik. Dia mempersilahkan kami duduk.

“Begini, non! tadi saya bertemu Imah di jalan, katanya dia sedang mencari pekerjaan. Ya saya langsung ajak saja dia kesini, mungkin saja non membutuhkannya.” Jelas bang Tata.

“Oh… begitu. Ya udah mulai besok kamu bantu-bantu saya disini. Sekarang pasti kamu cape kan. Ya udah istirahat dulu saya tunjukan kamarnya.” Mbak Alya mengajakku melihat kamar yang akan aku tinggali.

Pagi berikutnya menyongsong. Sinar matahari begitu terang langit pun ikut cerah. Ku sempatkan bangun lebih awal dan mulai membereskan seisi rumah dan halamannya. Rumah ini tak begitu besar dan mewah seperti jajaran rumah tingkat atas. Yang membuat rumah ini terlihat unik berbeda dari yang lainnya, karena dipenuhi tanaman hias. Setiap kelilingnya tak pernah terlihat bunga-bunga yang tumbuh menghiasi keindahan pekarangan.

Setelah memata sekeliling rumah tiba-tiba terdengar dari dalam.

“Imah…!” Panggil mbak Alya di depan pintu rumah.

“Iya mbak!” Aku menghampirinya setelah menyiram bunga.

“Hari ini mbak gak ada jadwal kuliah. Mbak pengen jalan-jalan tapi gak ada temen. Jadi memdingan sekarang kamu mandi trus anterin mbak jalan-jalan.” Ucapnya.

“Jalan-jalan mbak!?” Aku tak percaya.

Mbak Alya mengangguk, “Sekalian kamu bisa liat-liat suasana kota Jakarta seperti apa!”

“Wah makasih mbak! Ya udah saya mandi dulu ya!” Aku kegirangan.

“Ya udah cepetan sana!”

Terlukir dalam hatiku sebuah bunga di taman mempercantiknya. Begitu senang aku bisa berkeliling kota Jakarta dan yang membuat aku bahagia Tuhan mempertemukanku dengan mbak Alya yang baik hati. Begitu mengenalnya dekat kami tidak terlihat seperti pembantu dan majikan namun, kalanya sepasang sahabat yang begitu akrab. Di mata mbak Alya aku layaknya adik kandungnya sendiri. Kedekatan ini membuatku selalu ceria dan setia menemani mbak Alya jika dia meminta untuk bersama.

Seminggu sekali setiap jadwal kuliah mbak Alya kosong aku sering diajaknya jalan-jalan. Kini aku tahu kota Jakarta. Kota yang begitu indah dan dicintai. Kota yang terlahir dari pergeseran zaman yang membuat teknologi serba dijajali di dalamnya.

Pantas saja Jakarta banyak dikunjungi orang-orang baik dalam negeri atau pun luar negeri karena di kota inilah tumpuan ekonomi hidup masyarakat dari mulai kalangan bawah sapapi yang lebhh tinggi. Tak heran jika Jakarta dijadikan sebagai jantung Indonesia yang bisa memberi kehidupan pada organ-organ tubuh yang lain.

Dalam mobil avansa hitam milik mbak Alya.

“Mbak asli orang Jakarta, ya?” Tanyaku menhangatkan suasana.

“Iya, mbak lahir tahun delapan tujuhan udah ada di kota ini.”

“Wah masih muda dong! Kalau aku tahun sembilan puluhan.”

“Iya dulu Jakarta belum seramai sekarang. Gedung-gedung percakar langit pun masih sedikit, jalanan pun masih terlihat lengang tapi, setelah waktu terus berjalan menemani zaman Jakarta begitu modern, teknologi ikut dijejali, dan gedung-gfung menjulang tinggi sampai jalanan pun setiap hari macet seperti ini.” Saat itu keadaan sedang dalam antrian panjang.

“Wah, berarti mbak pasti bangga bisa dilahirkan di Jakarta?”

“Ya begitulah!” Tangapannya.

“Terus kalau saya boleh tanya. Selama mbak tinggal di Jakarta kesannya gimana?”

“Menuru mbak sih. Ya… seperti yang mbak katakan tadi modern, canggih dan apa yang kita inginkan mudah dicari. Tapi…” Akhir katanya menggantung.

“Tapi apa mbak?” Tak sabar inging tahu.

“Tapi…” Dia menarik napas dalam-dalam, ” ada satu hal yang mbak cita-citakan dari kota ini.” Katanya denan pasrah. “Oh ya! Mbak liat kamu sering nulis, ya! Mau jadi penulis?” Mengalihkan pembicaraan seolah-olah tidak ingin memberi tahu apa yang dirasakannya.

“Iya mbak, cita-cita saya pengen jadi penulir. Setiap hari saya mencoba melatihnya tapi, sampai sekarang belum terbukti hasilnya. Entah apa yang harus saya lakukan selanjutnya.” Jelasku penuh dengan rasa putus asa.

“Sabar saja, suatu saat mbak yakin kamu bisa menggapainya. Rajin-rajinlah melakukan apa yang bisa membantu cita-cita kamu.” hiburnya meredakan suasana, “oh ya, kamu mau berjanji gak buat mbak?” Tawarnya.

“Janji apa mbak?”

“Kamu pengen tahu kan cita-cita mbak apa? Kalau kamu sudah jadi penulis mbak kasih tahu cita-citanya apa. Tapi kamu juga harus janji untuk mbak mau mewujudkan cita-cita mbak!” Jelasnya panjang lebar.

“Loh, kok! Cita-citanya kan mbak yang inginkan masa saya yang harus mewujudkannya. Emangnya kenapa mbak? Emm… pasti mbak gak bisa mewujudkan cita-cita itu, ya kan!?” Ledekku penuh canda membuatnya tesimpul malu.

“Bukannya mbak gak bisa. Mbak udah coba tapi belum berhasil mungkin suatu saat nanti. Tapi, mbak gak yakin kalau harapan mbak bisa diwujudkan. Masalahnya waktu yang tidak memungkinkan.” Kata-katanya membuat lebih penasaran.

“Maksud mbak!” Tak mengerti apa yang dikatakannya.

“Udah lah! Nanti juga kamu akan tahu sendiri yang penting sekarang kamu mau berjanji buat mbak.” Ucapnya menutup pembicaraan.

“Ya, mbak.” Dengan penuh penasaran aku menuruti apa katanya. Tapi perasaanku terus diliputi keingin tahuan itu. Ada yang janggal dalam kata-kata yang diungkapkannya selain cita-citanya yang tidak mungkin terwujud dia juga mengkaitkan dengan waktu yang tidak memungkinkan.

Pikiran itu masih bergelut dikepalaku. Begitu banyak pertanyaan yang ingin aku ketahui tentang Jakarta dan hal-hal yang membuatku penasaran. Perjalanan berkeliling kota Jakarta masih lewati. Jalanan terlihat lancas setelah sekian lama terjebak macet.

Enam bulan sudah aku tinggal di Jakarta perjuanganku demi keluarga dan untuk mewujudkan cita-cita begitu kuat melekat di hati apalagi setelah aku menerima janji dari mbak Alya yang sampai sekarang belum ada sedikit pun bocoran.

Hari-hariku di Jakarta begitu indah dan menyenangkan. Setiap sfminggu sekali mbak Alya selalu mengajak berpergian baik wisata, shoping, berkujung ke panti asuhan ataupun mengadakan penelitian ke daerah-daerah yang banyak tumbuh-tumbuhan.. Baru aku ketahui mengapa di sekeliling rumahnya banyak tumbuhan, ternyata mbak Alya suka membudidayakan dan melestarikan tumbuhan. Katanya sih, “tumbuhan adalah AC alami yang dapat memberikan kehidupan pada makhluk-makhluk di dunia tanpa tumbuhan manusia tamungkin bisa bernapas.” Benar juga sih apa yang dikatakan mbak Alya semakin ke sini semakin abis tumbuhan yang ada di Indonesia terutama Jakarta.

Matahari bersinar menyongsong datangnya pafi. Terasa bugar tubuhku ini bisamenghirup udara segar pekarangn rumah yang rindang akan pepohonan dan tumbuhan. Tak lupa dengan bunga yang menghiasi taman seakan surga di atas bumi.

Pagi itu telepon rumah berdering aku pun bergegas mengangkatnya.

“Assalamu’alaikum! Ada yang dapat saya bantu?” Ucapaku mengambut.

“Ini kami dari pihak penerbit ingin bicara dengan saudara Maimunah, apakah ini kediamannya saudara Maumunah?” Suara perempuan terdengar dari kejauhan.

“Iya ini saya sendiri, mbak!”

“Selamat, karya anda diterima untuk dipublikasikan.”

“Alhamdulillah ya Allah! Akhirnya doaku dikabulkan.” spontan aku laangsung mengucap puji syukur.

Setelah memdengar itu aku benar-benar bahagia satu langkah sudah aku lewati kini aku harus terus giat da berusaha menjalankan apa yang sekarang aku cita-citakan telah terwujud. Tahap selanjutnya aku harus tahu apa yang pernah mbak Alya janjikan tentang cita-citanya.

Aku pun bergegas menghubungi mbak Alya. Telepon sudah tersambung tapi, tidak ada yang mengangkat. Aku coba beberapa kali mengulangnyaa, tak sabar ingin memberi tahunya akhirnya setelah sekian lama menunggu, telepon pun ada yang mengangkat.

“Assalamualaikum, mak!” Sapaku.

“Wa’alaikum salam, ini sam Imah, ya!?” malah bertanya, “Imah ini tante, ibunya Alya.”

“Tante!?” Aku terheran, “kok…” terpotong.

“Alya dilarikan kerumah sakit!”

“Apa tante!?” mendengar itu aku tak kuasa menahan tangis dan tak mengerti apa yang ter jadi menimpa mbak Alya.

Seketika aku langsung menuju rumah sakit. Rasa keluh kesah di hati terus membayangi membuat keringat dingin menyertai. Sesampai di rumah sakit ku tanyakan ruang mbak Alya dirawat. Aku pun sampai di depan pintu ruangannya.

Nampaknya di dalam sudah banyak orang diiringi tangisan yang bernada menggema suasana . Rasa bingung, heran, dan tak mengerti kembali meliputi. Ketika aku masuk di sana kulihat mbak Alya sedang berbaring tubuhnya diselimuti kain. Seorang menutup wajahnya dengan kain itu. Seketika aku tak kuasa membendung air mata.

“Mbak…!” Aku memburunya, “Mbak Alya bangun mbak…!” Tak ada yang bisa aku lakukan kecuali menyesali apa yang telah terjadi.

Usai sudah cerita hidupnya berakhir, Sang Pencipta telah memanggilnya. Dia sudah lama mengidap kangker paru-paru karena hidupnya selama ini berada dalam lingkungan yang penuh dengan polusi. Pantas saja rumahnya dipenuhi tumbuhan ternyata karena mbak Alya ingin tetap menikmati hidup. Tapi Tuhan berkehendak lain.

“Imah, ini ada surat buat kamu dari Alya sebelum ia meninggal.” Kata ibunya mbak Alya memberikan selembar kertas sembari masih diliputi haru.

Tanpa menunggu lama aku pun langsung membacanya. Ku baca dengan perasaan yang berlumura air mata serta penyesalan. Surat itu intinya berisi permintaan maaf dan seluruh isi hati yang ditumpahkan mbak Alya. Tapi ada satu kalimat yang pernah ia janjikan yaitu tentang cita-citanya yang berisi. “Aku berharap Jakarta bukan hanya bisa menjadi jantung Indonesia tetapi bisa juga menjadi paru-paru Indonesia.” Aku temenung dengan apa yang dipesankannya. Dan aku mengeti apa yang harus sekarang aku lakukan.

Purwakarta, 30 Oktober 2008

Copyright © Ray Victory

Posted on May 22, 2012, in Cerpen and tagged , , . Bookmark the permalink. Leave a comment.

Leave a comment